29 Agustus 2008

SHIYAM (PUASA) DI DALAM AL QUR'AN

PENGERTIAN SHIYAM ATAU PUASA


Shiyam atau shaum menurut bahasa Arab artinya adalah menahan diri dan arti yang lain adalah angin yang tidak bertiup. Shiyam itu menahan segala keinginan yang zhahir ataupun yang bathin. Ketika melaksanakan shiyam, kita menahan makan secara zhahir, maka kita juga harus menahan membayangkan makanan di dalam bathin. Ketika melaksanakan shiyam kita menahan pandangan untuk melihat hal-hal zhahir yang dilarang, maka kita pun harus mampu menahan hati untuk membayangkannya di dalam bathin. Shiyam adalah suatu proses latihan pengendalian diri untuk mengoptimalkan penjagaan hati supaya lebih mengerti nilai suatu kehidupan dan supaya lebih dekat kepada Allah.

Setiap Ramadhan, umat Islam melaksanakan ibadah shiyam atau lebih dikenal dengan nama puasa. Entah darimana awalnya mereka bisa melaksanakan hal seperti itu, tetapi yang jelas mereka mengklaim shiyam atau puasa sebagai rukun islam yang ke-3 dan merupakan kebiasaan mereka dari dahulu. Ada perintah atau tidak, itu tidak penting buat mereka. Yang penting, mereka sudah melihat bapak-bapak mereka, guru-guru mereka, atau para alim ulama yang mereka hormati mengerjakan hal tersebut dan mereka yakin mereka tidak akan salah. Bukan cuma ibadah puasa yang tertanam seperti itu, bahkan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya pun sama seperti itu. Dan itu sudah menjadi tradisi.

Ramadhan dibandingkan dengan bulan yang lain, sangat dikultuskan. Untuk menyambutnya, mereka mewajibkan untuk berkeramas dan bebersih diri. Pahala bertebaran di mana-mana pada bulan itu. Dari mulai membaca Al Qur'an, shalat malam, bersedekah, bahkan tidurpun bisa mendatangkan pahala. Tanpa menggunakan akal dan dasar hukum yang jelas, hal tersebut mereka telan mentah-mentah, yang kemudian dijadikan sebagai makanan pokok dalam kebiasaan agama mereka bertahun-tahun.
Dan di saat shiyam dilaksanakan, bukan hal-hal kebaikan yang ditanyakan melainkan hal-hal tetek bengek yang sebenarnya mudah difahami dengan akal seperti, batal atau tidak kalau ketika kita sedang berpuasa kentut dalam air, berludah, sikat gigi, menangis, dll.

Lalu bagaimana menurut Al Qur'an tentang shiyam (puasa)?

Di dalam Al Qur'an menyebut kata shiyam/shaum dengan tujuh perubahan: tashuumu (1x), falyashumhu (1x), shauman (1x), ashshiyaam (7x), shiyaaman (1x), ashshaaimiina (1x), dan ashshaaimaati (1x)) sebanyak 13 kali, 6 surat, dan 11 ayat. Di antaranya:

Hai orang-orang yang beriman, telah dituliskan atasmu shiyam, sebagaimana telah dituliskan atas orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. (QS. 2 ayat 183)

beberapa waktu yang dihitung. Maka siapa yang ada penyakit dari kamu atau karena perjalanan jauh, maka hitungannya dari waktu yang kemudian. Dan atas orang-orang yang sangat payah melakukannya tebusannya memberi makan orang-orang miskin. Maka siapa yang sukarela melakukan kebaikan, maka itu lebih baik untuknya. Dan bahwa melakukan shiyam lebih baik untukmu, jika kamu mengetahui. (QS. 2 ayat 184)

Bulan Ramadhan yang diturunkan di dalamnya Al Qur'an sebagai petunjuk buat manusia, penerangan-penerangan dari petunjuk itu, dan Furqan. Siapa darimu yang menyaksikan bulan itu, maka hendaklah dia bershiyam karenanya. Dan siapa yang ada penyakit atau karena perjalanan jauh, maka hitungannya dari waktu yang lain. Allah berkehendak kemudahan terhadapmu dan tidak berkehendak kesusahan terhadapmu. Dan supaya kamu menyempurnakan hitungan itu dan supaya kamu membesarkan Allah atas apa yang telah Dia tunjuki kepadamu dan agar kamu bersyukur. (QS. 2 ayat 185)

Dan apabila abdi-abdi-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku memenuhi seruan orang yang menyeru apabila dia menyeru kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi seruan untuk-Ku dan hendaklah mereka beriman dengan-Ku agar mereka menjadi cerdas.(QS. 2 ayat 186)

Telah dihalalkan untukmu malam shiyam bercampur kepada isteri-isterimu. Mereka pakaian untukmu dan kamu pakaian untuk mereka. Allah mengetahui sesungguhnya keadaanmu sedang mengkhianati dirimu, maka Dia menerima taubat atasmu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang, gembirakanlah mereka dan carilah apa yang telah Allah tuliskan untukmu. Makanlah dan minumlah sampai nyata untukmu benang putih dari benang hitam yaitu dari sebahagian fajar. Kemudian sempurnakan puasa hingga malam. Dan janganlah kamu menggembirakan mereka sedang kamu beritikaf di dalam mesjid. Itulah batas-batas Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Seperti itulah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertaqwa.(QS. 2 ayat 187)

Al Qur'an menjelaskan hal-hal tentang tata cara shiyam secara terperinci. Mengenai hal-hal lain yang sifatnya membatalkan dll, kita bisa fahami dari Al Qur'an dengan mudah melalui akal kita.



PUASA SUDAH DI KERJAKAN DARI DAHULU



Ibadah yang kita kerjakan adalah mencontoh apa yang pernah diperbuat oleh orang dahulu sebelum Rasulullah Muhammad. Kita tidak bisa mengatakan kewajiban ini datang hanya untuk kaum Rasulullah Muhammad. Karena kum (kamu) itu awalnya berhadapan dengan umat Rasulullah. Shiyam itu berawal dari Rasulullah Ibrahim, yang Allah angkat sebagai imam buat seluruh manusia, hingga berlanjut ke Rasulullah Muhammad, dan sampailah kepada kita. Mengenai tata caranya dikembalikan kepada Al Qur'an. Karena Al Qur'an satu-satunya kebenaran yang Allah turunkan kepada Rasulullah Muhammad yang menjadi akhlak beliau dan sunnah beliau dalam melaksanakan perintah-perintah Allah. Banyak sekali yang kita lakukan saat ini, lebih cenderung taklid atau mengikut sesuatu tanpa dasar Al Qur'an sebagai petunjuk yang jelas dan kebenaran yang pasti. Al Qur'an menjelaskan tentang shiyam atau puasa dengan menekankan intinya adalah taqwa. Sehingga apa yang kita lakukan di saat shiyam lebih mengutamakan keihsanan dan ketaqwaan kita daripada mempeributkan pelaksanaannya.


SYARAT UNTUK MELAKSANAKAN SHIYAM


Di Surat 2 ayat 183, kewajiban shiyam yang telah dikerjakan dari dahulu ditujukan khusus buat orang-orang yang beriman.

Ayat 184 tentang puasa itu sangat baik untuk yang melaksanakannya dan siapa sajakah yang boleh tidak melaksanakan shiyam serta memberi makan orang miskin bagi yang memang tidak sanggup sama sekali untuk melaksanakannya. Apabila dia melaksanakan shiyam sambil mengerjakan kebaikan seperti memberi makan orang miskin, anak-anak yatim, orang yang meminta-minta, membagi makanan buat tetangga, dll, itu sangat baik untuknya.

Ayat 185 menjelaskan bahwa Ramadhan yang kita kenal hanya sebagai bulan shiyam atau bulan puasa ternyata lebih mengenalkan kepada kita bahwa bulan itu adalah bulan turunnya Al Qur'an dan Allah menerangkan di ayat tersebut bahwa:

- Al Qur'an adalah petunjuk buat seluruh manusia.

- Setiap detail penerangan Al Qur'an diambil dari petunjuk yang ada di dalam Al Qur'an itu sendiri.

- Dan setelah Al Qur'an dijelaskan melalui Al Qur'an, akan terlihat perbedaan-perbedaan antara puasa yang dikerjakan karena kebiasaan mengikut orang-orang dahulu dengan puasa mengikuti petunjuk Al Qur'an.

- Maka siapa yang syahida (menyaksikan atau mengetahui) bulan itu, maka hendaklah dia melaksanakan shiyam. Syahida bulan itu ada dua pengertian:


1. Syahida datangnya bulan ramadhan, baik menghitung sendiri maupun mengikuti perhitungan suatu badan yang khusus mengamati dan melakukan perhitungan bulan

2, Syahida bahwa bulan Ramadhan itu adalah bulan turunnya Al Qur'an sebagai petunjuk, penjelasan, dan pembeda.
    Pengertian pertama itu penting sekali untuk melaksanakan shiyam, tetapi pengertian yang kedua jauh lebih penting. Mengapa pengertian kedua lebih penting? Ini bisa dilihat dari awal untuk siapa kewajiban itu ditujukan.
      Kewajiban itu ditujukan untuk orang yang beriman, yaitu orang yang beriman kepada Al Qur'an dan arti dari iman itu adalah percaya.
      Apabila kita mengatakan percaya kepada Al Qur'an, maka kita harus membuktikannya. Bagaimana cara membuktikannya?
      Kita akan mempercayai sesuatu yang kita kenal dan sebaliknya kita tidak akan percaya kepada sesuatu yang tidak kita kenal atau cuma sekedar kenal.
      Kita mengatakan bahwa kita percaya kepada Al Qur'an. Apakah kita mengenal isi Al Qur'an?


      Syahida itu beriman dan mengikuti rasul



      Ya Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan kami mengikuti rasul itu, maka tulislah kami bersama orang-orang yang syahida. (QS. 3 ayat 53).



      Syahida itu menerima dan mengerti serta mendengarkan pengajaran Allah (isi Al Qur'an)



      Sesungguhnya di dalam kisah itu benar-benar terdapat pengajaran bagi yang mempunyai hati dan mau mendengarkan dan dia itu syahida.(QS. 50 ayat 37)


      Dengan syahida bahwa bulan itu turun Al Qur'an yang isinya tentang cara dan tujuan pelaksanaan shiyam, maka kita akan bersegera untuk memperbanyak membaca dan mengkaji isi Al Qur'an pada bulan Ramadhan itu supaya ibadah kita sesuai dengan tuntunan Al Qur'an dan bermanfaat untuk perbaikan diri kita. Karena taqwa adalah perbaikan diri (QS. 7 ayat 35).

      Apabila dia sakit parah atau perjalanan yang sangat jauh yang membuat dia payah dan tidak kuat untuk melanjutkan shiyam, maka dia boleh tidak melaksanakan shiyam dan sebagai gantinya dia wajib melaksanakan shiyam pada waktu yang lain sebanyak yang dia tinggalkan berturut-turut seperti shiyam yang dia lakukan di bulan Ramadhan. Allah selalu memberikan kemudahan dan tidak memberikan kesulitan. Shiyam mendidik kita juga untuk menjadi orang yang selalu membesarkan Allah dan bersyukur.

      Ayat 186 menjelaskan apabila ada yang bertanya hal-hal tentang Allah, maka ingatkanlah bahwa Allah adalah dekat.
      Kalau mau bertanya sesuatu, lihatlah Al Qur'an dan carilah jawabannya di sana. Dan apabila kita mau memohon sesuatu, mohonlah langsung kepada Allah tanpa melalui perantara siapapun, tetapi dengan syarat dia harus memenuhi perintah Allah dan beriman kepada-Nya, yaitu, percaya bahwa Allah akan mengabulkan segala keinginan siapapun apabila syarat itu telah dipenuhi dengan sebenar-benarnya. Allah mengajarkan kita supaya pandai dan mengerti makna apa yang kita kerjakan dan kita mohonkan kepada Allah.
      Ayat 187 menjelaskan tentang halal melakukan hubungan suami isteri pada waktu malam shiyam. Dan batasan makan dan minum adalah peralihan antara waktu sahur ke waktu fajar. Batasan itu digambarkan dengan "benang putih dari benang hitam". Benang itu adalah bagian dari kain. Berarti setitik cahaya kecil yang mungkin hampir tidak terlihat jelas dengan mata karena sangat halus. Hingga sebenarnya hampir sulit untuk diterka datangnya kecuali waktu fajar yang sebenarnya. Karena itulah di dalam Al Qur'an tidak menjelaskan adanya makan sahur di bulan ramadhan seperti: harus makan sahur, keistemewaan makan sahur, memajukan dan mengakhirkan makan sahur, barokah makan sahur, dll.
      Apakah Al Qur'an melarang kita makan sahur? Tidak. Tidak ada larangan untuk itu. Allah hanya membolehkan makan sehingga batas yang Allah berikan itu datang. Kalau memang yakin batas waktu itu kita ketahui dengan pasti, ya silahkan saja kalau mau makan. Tapi kalau tidak tahu secara jelas hanya berdasarkan rekaan, lebih baik tidak usah makan, lebih afdhal.


      SAHUR ADALAH WAKTU UNTUK MEMINTA AMPUN KEPADA ALLAH BUKAN WAKTU UNTUK MAKAN



      Kebiasaan kita menjelang esok akan melaksanakan shiyam adalah wajib "makan sahur". Dan kebiasaan ini tidak bisa ditinggalkan sehingga apabila ada yang tidak melakukan makan sahur atau lupa, esoknya dia tidak melaksanakan shiyam dengan alasan tidak makan sahur.

      Sahur adalah waktu akhir-akhir malam menjelang fajar. Al Qur'an tidak menjelaskan ada atau wajib makan sahur, tetapi Al Qur'an menjelaskan bahwa waktu sahur adalah waktu untuk meminta ampun:


      Orang-orang yang sabar, orang-orang yang benar, orang-orang yang patuh, orang-orang yang infak, dan orang-orang yang meminta ampun pada waktu sahur. (QS. 3 ayat 17)

      Mereka adalah yang sedikit tidur pada waktu malam,
      dan pada waktu sahur mereka meminta ampun. (QS. 51 ayat 17-18)


      Shiyam adalah pengendalian diri. Tubuh yang biasanya selalu memikirkan hal-hal jasmani seperti makan dan minum, ketika melaksanakan shiyam tubuh kita harus benar-benar dapat dikendalikan terutama perut. Allah tidak melarang kita untuk makan dari mulai matahari tenggelam hingga mau masuk waktu sahur. Bukankah waktu itu begitu panjang? Waktu sahur Allah khususkan buat kita untuk meminta ampun. Tapi mengapa kita mengharuskan makan dan minum di waktu yang semestinya kita memohon ampun kepada Allah dan bersujud kepada-Nya? Apakah kita belum puas dari sore sampai malam? Dan satu hal lagi, tidak ada pahala/kebaikan apapun dalam makan sahur, tetapi bila digunakan untuk meminta ampun, ada persaksian malaikat pada waktu itu. Lebih baik mana, waktu sahur kita gunakan untuk mengisi jasmani kita atau kita gunakan untuk mengisi rohani kita dengan meminta ampun kepada Allah?


      DAHULUKAN SHALAT DARIPADA BERBUKA


      Kebiasaan umum yang kita kerjakan dari dahulu adalah, apabila beduk atau adzan maghrib berkumandang, seluruh shaimin/shaimat menyegerakan berbuka dahulu walau seteguk air daripada harus melaksanakan shalat. Dan itu diklaim sebagai contoh dari rasul. Apakah memang demikian?
      Seperti yang saya utarakan sebelumnya, bahwa puasa adalah proses latihan pengendalian diri yang pernah dicontohkan oleh rasul. Shiyam itu lebih mendekatkan diri kita kepada Allah daripada hal-hal dunia seperti makan dan minum. Rasulullah Muhammad adalah seorang hamba pilihan Allah, yang cinta kepada Allah. Apabila disuruh memilih antara mementingkan dirinya atau Allah, maka sebagai orang yang sangat cintanya kepada Allah, beliau akan mendahulukan panggilan Allah daripada panggilan hawa nafsunya seperti makan dan minum.

      Waktu maghrib adalah waktu berbuka, itu memang benar. Apabila ada yang mengatakan bahwa waktu berbuka adalah malam, itu juga benar. Kenapa demikian, karena makan dan minum bukan shiyam yang sebenarnya, hanya bahagian dari shiyam. Terserah yang melaksanakan shiyam, apakah mau buka maghrib, buka malam atau tidak buka sama sekali. Jadi jangan meributkan hal-hal sepele seperti itu. Tapi marilah saya ajak untuk berfikir.


      BERBUKA WAKTU MAGHRIB


      Hampir seluruh shaimin dan shaimat di dunia, ketika beduk maghrib berbunyi atau adzan dikumandangkan, mereka bersegera dengan menyelesaikan shiyam atau berbuka puasa dengan kalimat "batalkan dulu". Ada yang mengatakan itu sudah menjadi kebiasaan dari dulu, ada yang bilang nabi mencontohkan seperti itu. Kedua-duanya apabila ditanya dasarnya apa, mereka tidak akan dapat menunjukkan, karena pendapat yang pertama lebih banyak diakui oleh seluruh muslim, yaitu karena kebiasaan..

      Sama seperti Allah menjelaskan tentang batasan makan dan minum, seperti itulah Allah menjelaskan waktu berbukanya. Shiyam telah tertulis dari dahulu. Kita biasa makan waktu sahur dan berbuka waktu maghrib.
      Setelah kita mengkaji Al Qur'an, maka kita akan mengkaji tentang makan dan minum waktu sahur dan juga makan dan minum waktu maghrib. Ternyata tidak ada makan sahur yang ada adalah meminta ampun waktu sahur. Tapi tidak ada larangan makan atau minum sebelum waktu itu. Begitu juga berbuka atau makan dan minum waktu maghrib. Tidak ada keterangan untuk itu, yang ada adalah waktu maghrib di saat adzan dikumandangkan adalah waktu untuk shalat maghrib bukan waktu untuk makan maghrib. Tetapi tidak ada larangan makan sesudah shalat maghrib itu dilaksanakan. Ini berarti, apabila beduk atau adzan magrib berbunyi, itu adalah panggilan shalat dan kita harus mendahulukan shalat daripada bersegera ke makanan atau minuman.
      Jika kita tidak mendahulukan shalat tapi malah makan atau minum, itu artinya kita menjadikan panggilan itu olok-olokkan.

      Dan apabila kamu memanggil shalat, mereka menjadikannya olok-olokkan dan permainan. Itulah karena sesungguhnya mereka kaum yang tidak menggunakan akal. (QS. 5 ayat 58)

      Ketika Allah memanggil kita untuk mendatanginya, kita yang dipanggil malah lari ke meja makan, apa namanya? Mematuhi panggilan Allah atau memperolok-oloknya? Hayya 'alashshalat (marilah shalat) atau hayya 'alalfithr (marilah berbuka)? Cobalah fikirkan!


      BERBUKA WAKTU MALAM



      Ada sebahagian orang (yang mengkaji Al Qur'an) yang memahami menyempurnakan shiyam sampai malam dengan dasar ayat: Atimmushshiyaam ilallayl yang artinya sempurnakan puasa hingga malam. Apabila ini dijadikan dalil untuk berbuka malam, tidak masalah.
      Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, berbuka maghrib, berbuka malam, atau tidak berbuka sama sekali, itu tidak menjadi masalah dalam masalah makan dan minum. Yang penting tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al Qur'an. Tetapi bila dijadikan dalil untuk menyalahkan yang berbuka maghrib, justeru malah tidak menyalahkan. Mengapa demikian?

      Layl atau malam itu mempunyai bagian. Ada permulaan malam atau zulafam minallayl (QS. 11 ayat 114), ada malam pekat atau ghasaqil layl (QS. 17 ayat 78), dan ada gelap akhir malam atau Qith'im minallayl (QS. 11 ayat 81 15 ayat 65).

      Ketika maghrib itu datang, maka itulah permulaan malam, merangkak ke'isya terus tambah pekat, hingga mendekati akhir malam (sahur), lalu fajr. Al Qur'an tidak menunjukkan kapan shaimin/shaimat harus berbuka, apakah permulaan malam ataukah malam yang pekat. Al Qur'an hanya menjelaskan sempurnakan hingga malam. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa maghrib termasuk waktu malam, yaitu "permulaan malam". Hanya saja untuk yang berbuka maghrib, wajib mendahulukan shalat dahulu. Bukankah Allah sudah mengatur tentang pembuka dan penutup shiyam? Dibuka pada waktu sahur dengan dengan melapor kepada Allah mau melaksanakan shiyam (dengan cara shalat malam) dan ditutup waktu maghrib dengan laporan pula kepada Allah telah selesai melaksanakan shiyam (dengan cara shalat maghrib).

      Atimmushshiyam ilal layl (sempurnakan puasa hingga malam) juga digunakan untuk meluruskan shiyam yang selama ini orang berfikir, kalau sudah maghrib, maka selesai sudah shiyam mereka. Ada yang sabar ketika melaksanakan shiyam, tetapi ketika selesai berbuka, selesai pula kesabarannya. Padahal tidak. Justeru sampai malamlah penyempurnaanya.


      SHALAT MALAM DI BULAN RAMADHAN


      Melakukan suatu hal yang sifatnya ritual harus ada perintahnya dan penjelasannya terdapat dalam Al Qur'an karena hubungannya kepada Allah (hablumminallah). Berbeda dengan hal-hal yang sifatnya berhubungan dengan manusia (hablumminannass), maka cara melaksanakannya dikembalikan kepada peraturan yang berlaku. Praktek ritual shalat adalah hablumminallah. Apa yang kita laksanakan di dalamnya adalah khusus hubungan kita kepada Allah. Tentunya harus mengikuti peraturan-peraturan Allah yang ada di dalam Al Qur'an. Seperti contoh:

      Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari isi Kitab, dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Dan sungguh mengingat Allah itu sangat besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 29 ayat 45)

      Di ayat tersebut kita diperintah untuk membaca Kitab yang diwahyukan Allah yaitu Al Qur'an (QS. 6 ayat 19) dan setelah itu diperintah shalat. Ini berarti, orang yang melakukan shalat harus membaca dan memahami isi Al Qur'an dan shalat itu tidak akan berarti apa-apa jika kita lakukan tanpa mengerti dasar perintahnya dan tidak dengan Al Qur'an
      Shalat yang telah kita kerjakan adalah contoh prilaku ibadah yang pernah dikerjakan orang-orang dahulu yang turun kepada orang-orang sekarang. Sudah pasti prilaku tersebut bercampur dengan adat kebiasaan, keinginan, dan kemampuan. Mengapa shalat selalu didahului dengan kata "Aqimi, Aqiimu, yuqiimu, tuqiimu, dsb? Perubahan kata kerja tersebut mempunyai dasar Qaama yang artinya berdiri, tegak, lurus. Bila kata-kata kerja itu bertemu dengan kata shalat, maka berarti: Dirikan shalat (bergerak melaksanakan shalat), luruskan shalat (kembalikan peraturannya kepada Al Qur'an), dan tegakkan shalat (shalat yang kita laksanakan harus bisa direalisasikan dalam kehidupan bersosialisasi). Jadi bisa diartikan shalat yang kita kerjakan itu adalah hubungan kepada Allah (hablum minallah) sesuai dengan peraturan-Nya untuk diterapkan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat (hablum minannass). Kita tidak akan membahas shalat secara detail, nanti insyaallah pada kajian tentang shalat.

      Kebiasaan di Bulan Ramadhan setelah berbuka, para shaim/shaimat bergegas ke mesjid untuk melaksanakan shalat isya berjemaah, kemudian melaksanakan shalat yang mereka sebut taraweh.
      Taraweh dalam bahasa Arab artinya "Duduk-duduk istirahat atau rileks". Arti kata ini berkembang di bulan Ramadhan menjadi "Duduk-duduk istirahat di antara dua salam".
      Tentang shalat taraweh diperdebatkan oleh golongan Sunny dan golongan Syiah. Golongan sunny berbeda pendapat mengenai posisi shalat taraweh sebagai shalat sunat, sedangkan Golongan syi'ah mengatakan itu adalah bid'ah karena tidak mempunyai landasan yang kuat. Memang, kalau hal-hal yang tidak dikembalikan kepada Al Qur'an pasti menjadi perselisihan.

      Shalat taraweh tidak ada di dalam Al Qur'an. Yang ada adalah Qiyamul layl atau shalat malam. Apabila kita ingin melaksanakan shalat itu sebagai suatu nafilah atau ibadah tambahan, maka harus dikerjakan sesuai peraturannya di dalam Al Qur'an. Al Qur'an telah mengatur pembagian waktunya dengan jelas, serta pelaksanaannya.

      Sesungguhnya Rabb engkau mengetahui bahwa engkau berdiri shalat kurang dari 2/3 malam, 1/2, dan 1/3 serta segolongan dari orang-orang yang bersama engkau. Dan Allah mengukur malam dan siang. Dia mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat memperkirakannya, maka Dia menerima taubatmu. Maka bacalah apa yang mudah dipahami dari Al Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada dari kamu yang sakit dan yang lainnya hendak berpergian di muka bumi mencari karunia Allah. Dan yang lainnya hendak berperang di jalan Allah, maka bacalah yang mudah dipahami daripadanya. Dan dirikanlah shalat, berikanlah zakat, dan pinjamkanlah Allah dengan pinjaman yang baik. Dan kebaikan yang kamu perbuat untuk dirimu, kamu akan mendapatinya di sisi Allah. Itulah yang lebih baik dan balasan yang paling besar. Dan minta ampunlah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 73 ayat 20)

      Berdasarkan perhitungan di atas, kita akan mendapat perhitungan waktu yang sederhana dari Allah dalam melaksanakan Qiyamul layl dan penekanannya adalah "Bacalah yang mudah dipahami dari Al Qur'an".

      Sehari semalam lamanya 24 jam. Sebagai perhitungan yang adil untuk pembagian waktu malam dan siang, kita menghitung 12 jam untuk siang dan 12 jam untuk malam.
      2/3 malam berarti 2/3 x 12 = 8 jam
      1/2 malam berarti 1/2 x 12 = 6 jam
      1/3 malam berarti 1/3 x 12 = 4 jam

      Zulafan minallayl (permulaan malam) kita hitung masuknya waktu maghrib di WIB adalah jam 18.00 , WITA jam 19.00, dan WIT jam 20.00.

      Maka perhitungan waktu-waktu di atas menjadi:
      Waktu Maghrib (WIT, WITA, dan WIT) di tambah 8 jam (2/3 x 12)
      Waktu Maghrib (WIT, WITA, dan WIT) di tambah 6 jam (2/3 x 12)
      Waktu Maghrib (WIT, WITA, dan WIT) di tambah 4 jam (2/3 x 12)
      Kita hitung dari WIB:
      2/3 malam berarti --> 18.00 + 8 = 19, 20, 21, 22, 23, 00, 01, 02 --> jam 02 pagi
      1/2 malam berarti --> 18.00 + 6 = 19, 20, 21, 22, 23, 00 --> Jam 12 malam
      1/3 malam berarti --> 18.00 + 4 = 19, 20, 21, 22 --> Jam 10 malam

      Berarti Qiyamul layl atau shalat malam dimulai dari jam 22 s/d 02 pagi, dan ini yang disebut Ghasaqil layl
      Kurang dari 2/3 artinya boleh kurang dari jam 02. Tetapi bukan kurang dari 1/3, yaitu di bawah jam 10 yang biasa dikerjakan oleh seluruh shaim/shaimat dan telah menjadi tradisi.
      Mengenai raka'atnya terserah semampu kita. Mau 2 raka'at, 4 raka'at, 8 raka'at, 11 raka'at, atau tidak terhingga. Mau menghadap Allah, kenapa harus dipatokin jumlahnya?


      MELAKSANAKAN SHIYAM WAJIB BAGI ORANG HAIDH


      Di dalam surat 2 ayat 184 dan 185, yang boleh tidak melaksanakan shiyam adalah orang yang sakit parah dan orang yang dalam perjalanan jauh yang Dia tidak akan sanggup melaksanakan shiyam karena payahnya. Dan mereka diharuskan menyempurnakan shiyamnya pada waktu yang lain. Bagaimana dengan orang yang Haidh?
      Orang yang haid tidak boleh shalat, tetapi tetap diwajibkan melaksanakan shiyam. Karena shalat harus dalam keadaan bersih dan pada tempatnya sedangkan melaksanakan shiyam di manapun, kapanpun, dalam keadaan apapun selain yang Allah terangkan boleh tidak melaksanakan shiyam, harus dikerjakan. Mandi atau tidak mandi, bersuci atau tidak bersuci.
      Mengenai orang yang haidh tidak boleh shalat, nanti akan kita bahas pada postingan yang membahas tentang shalat.

      Al Qur'an menjelaskan bahwa haidh itu bukan sejenis mariidh atau penyakit, melainkan Adza (gangguan kecil/kotoran) (QS. 2 ayat 222), dan yang boleh tidak melaksanakan shiyam adalah orang yang dalam keadaan mariidh. Terkecuali adza-nya tadi menyebabkan suatu mariidh yang menyebabkan dia tidak sanggup melaksanakan shiyam, misalnya, sakit perut atau sakit kepala yang mengharuskan dia minum obat. Kalau cuma sekedar haid biasa dan tidak menyebabkan sakit parah, lebih baik berpuasa. Allah mengatakan bahwa dalam keadaan apapun, sebenarnya puasa itu lebih baik, apalagi cuma sekedar haidh.

      Shiyam bukanlah suatu yang hal luar biasa di antara ibadah-ibadah lain seperti shalat. Hanya bentuk latihan pengendalian diri dengan waktu dan cara yang berbeda. Shalat membentuk badan luar kita agar lebih sehat dengan bergerak dan shiyam membentuk tubuh dalam kita agar lebih sehat. Shalat melatih kesabaran kita secara ritual dan shiyam melatih kesabaran kita secara aktual. Dan itu semua tidak akan ada nilainya apabila tujuan dilaksanakannya tidak terwujud, yaitu taqwa.

      Apakah itu taqwa?
      Taqwa adalah "Memelihara diri kita dengan cara melakukan kebaikan-kebaikan yang Allah perintahkan dengan sebenar-benarnya dan ikhlas".


      Pujian itu kepunyaan Allah!

      Tidak ada komentar: